Menggadaikan SK Anggota DPRD: Tantangan Etika dan Integritas

Foto ilustrasi kantor DPRD Kota Semarang.

SEJUMLAH anggota DPRD Kota Semarang dikabarkan banyak yang menggadaikan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan mereka, sebagai jaminan untuk pinjaman bank. Beberapa di antara mereka bahkan mengajukan pinjaman dengan nilai yang mencengangkan, mulai dari Rp 500 juta hingga hampir mencapai Rp 1 miliar. Tindakan ini diduga dilakukan untuk menutupi biaya pencalonan selama masa kampanye di pemilu sebelumnya, mencerminkan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan.

Informasi dari sumber internal DPRD Kota Semarang mengungkapkan bahwa mayoritas anggota dewan kini terjerat dalam pinjaman yang dijamin dengan SK pengangkatan mereka. Mayoritas pinjaman tersebut diambil dari bank pemerintah daerah, sementara beberapa lainnya berasal dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Konsekuensinya, potongan gaji langsung untuk mengangsur pinjaman ini menjadi hal yang mungkin harus dihadapi oleh para anggota dewan.

John Ari, aktivis Pro Demokrasi, menilai fenomena ini sangat merugikan dan berpotensi mengganggu kinerja anggota DPRD. Ia berpendapat bahwa hal ini bisa menghambat tugas mereka sebagai lembaga yang berfungsi dalam penganggaran, pengawasan, dan legislasi, termasuk dalam pembentukan peraturan daerah. “Meskipun tidak semua, banyak dari mereka yang menjadi rentan dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai anggota dewan. Ini berpotensi membawa dampak negatif pada integritas mereka sebagai wakil rakyat. Secara hukum mungkin tidak ada larangan, tetapi etika jelas dipertaruhkan,” ujarnya pada Kamis (19/12/2024).

Walaupun ada anggapan bahwa penggadaian SK adalah urusan pribadi masing-masing anggota dewan dan tidak melanggar hukum, John Ari tetap berpendapat bahwa tindakan ini merusak citra wakil rakyat. “SK diberikan untuk meresmikan jabatan dan menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Jika anggota DPRD menggunakan SK untuk kepentingan pribadi, jelas ada yang salah dengan integritas mereka,” tambahnya.

Sementara itu, Joost Tewuh SH M Si, Ketua Umum DPP PBH LIN, mempertanyakan legalitas jika SK seorang anggota dewan digadaikan atau dijadikan jaminan pinjaman. Menurutnya, SK pengangkatan adalah legal standing anggota dewan. “Jika SK tersebut dijaminkan untuk pinjaman bank, maka legal standing anggota dewan tidak memiliki pegangan. Pegangannya ada di bank. Ini harus dipertanyakan dari segi etika,” tegasnya.

Joost juga menyoroti bahwa tindakan menggadaikan SK menunjukkan bahwa kontestasi politik telah berubah menjadi ajang mencari keuntungan pribadi. Banyak anggota DPRD yang terpaksa mengeluarkan dana besar saat berkampanye, sehingga merasa terbebani untuk mengembalikan uang tersebut. “Utang yang membelit caleg sejak awal akan menjadi beban selama mereka menjabat. Beban ini memaksa mereka untuk mencari uang dengan cara yang tidak etis, meski secara hukum tidak bisa dipersoalkan,” ungkapnya.

Fenomena penggadaian SK ini tidak hanya terjadi di Kota Semarang, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Para anggota dewan memberikan beragam alasan terkait tindakan ini, mulai dari kebutuhan untuk membeli rumah, renovasi, hingga melunasi utang kampanye. Beberapa anggota DPRD bahkan menganggap hal ini wajar, dengan menyebutkan bahwa biaya politik saat ini sangat tinggi.

Dengan semakin maraknya praktik penggadaian SK ini, Joost Tewuh menegaskan pentingnya masyarakat untuk menyadari implikasi etis dan moral dari fenomena ini. “Keberadaan anggota DPRD seharusnya menjadi simbol integritas dan pengabdian kepada masyarakat. Tantangan bagi sistem demokrasi kita adalah memastikan bahwa wakil rakyat benar-benar mewakili kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi mereka,” tandasnya.(*)

Pos terkait