DI tengah hiruk-pikuk Kota Semarang, terdapat sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan spiritual dan intelektual seorang ulama besar Nusantara, KH Sholeh Darat, atau Muhammad Sholeh Bin Umar Al-Samarani. Terletak di Kompleks TPU Bergota, Randusari, Semarang Selatan, makam ini senantiasa ramai dengan peziarah, terutama menjelang Bulan Ramadan, ketika tradisi nyekar dilakukan. Namun, selama Ramadan ini, keheningan lebih terasa, dengan hanya beberapa peziarah yang datang untuk berdoa dan mengenang para leluhur.
Makam KH Sholeh Darat, yang baru saja dipugar oleh Pemkot Semarang pada tahun 2023, dahulu selalu disesaki peziarah dan santri yang datang dalam rombongan besar. Mereka tidak hanya sekadar berziarah, tetapi juga menimba ilmu dari sosok yang menjadi salah satu mahaguru ulama Nusantara ini. Komunitas Pecinta KH Sholeh Darat (Kopisoda) kerap menggelar pengajian dan menelusuri karya-karya beliau, menjadikannya teladan bagi generasi mendatang.
Sumiyati, juru kunci makam, menjelaskan bahwa KH Sholeh Darat adalah seorang ulama besar yang menjadi guru bagi banyak tokoh Islam terkemuka di Indonesia. Di antara murid-muridnya adalah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Kedua tokoh ini melanjutkan perjuangan beliau dalam membangun peradaban Islam di tanah air.
Tak hanya itu, Raden Ajeng Kartini, tokoh perjuangan emansipasi wanita Indonesia, juga merupakan salah satu muridnya. Di bawah bimbingan Mbah Sholeh Darat, Kartini belajar membaca dan memahami Al-Qur’an, menambah kekayaan spiritual dalam perjuangannya untuk kesetaraan.
“Dari kecil, Mbah Sholeh Darat sudah terlibat dalam perjuangan melawan penjajah bersama ayahnya, Kiai Umar Asmarani,” ujar Sumiyati. Ayahnya, seorang kepercayaan Pangeran Diponegoro, menanamkan nilai-nilai keberanian dan perjuangan, membentuk Mbah Sholeh Darat tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga pejuang.
Mbah Sholeh Darat melakukan langkah revolusioner dengan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa menggunakan aksara Pegon. Di tengah larangan Belanda terhadap pendidikan agama, upaya ini menjadi perlawanan senyap yang berdampak besar. “Ini adalah cara cerdas untuk menyebarkan Islam tanpa terdeteksi,” tambah Sumiyati.
Warisan keilmuan KH Sholeh Darat juga terabadikan dalam berbagai karya kitabnya, seperti Lathaif at-Thaharah wa Asrar dan Kitab Pujian dan Faidur Rahman. Kitab-kitab ini menjadi pegangan bagi santri dalam memahami ajaran Islam. Kitab Al-Hikam, yang sarat hikmah, menjadi rujukan utama dalam tasawuf dan perjalanan spiritual.
Makam KH Sholeh Darat bukan hanya tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga pusat refleksi dan pembelajaran bagi siapa saja yang ingin menelusuri jejak spiritual dan intelektual salah satu ulama besar Nusantara ini. Ini adalah tempat di mana sejarah, ilmu, dan kebijaksanaan bertemu, menawarkan inspirasi untuk generasi mendatang.(Sumber halosemarang.id-*)