Di Puncak (Ambisi) Itu Sepi Pak..

“Salam dua jari, jangan lupa pilih Jokowi..”

Masih ingat lagu “Salam Dua Jari” yang lirik dan aransemennya dibuat Bimbim, pentolan grup band Slank. Lagu tersebut dinyanyikan banyak musisi, dan menjadi salah satu lagu wajib kampanye calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK di Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2014 lalu. Namun saat ini, lagu tersebut yang sempat jadi lagu wajib pendukung Jokowi-JK, kini sudah banyak dilupakan.

#

Dalam kehidupan, perjalanan menuju puncak sering kali digambarkan sebagai pencapaian yang diidam-idamkan. Namun, ada satu kebenaran yang sering terabaikan: di puncak itu, sering kali kita menemukan diri kita sendirian. Fenomena ini sangat relevan dalam dunia politik Indonesia, di mana para pemimpin yang dahulu dielu-elukan, kini harus menghadapi kesepian dan kritik setelah masa kekuasaan mereka berakhir.

Joko Widodo, atau Jokowi, adalah contoh nyata dari fenomena ini. Saat memulai karier politiknya dan mencalonkan diri pada Pilpres 2014, ia menjadi simbol perubahan yang dinanti-nanti oleh rakyat Indonesia. Dukungan datang mengalir dari berbagai penjuru, dan ketika ia kembali mencalonkan diri pada 2019, gelombang dukungan tersebut kembali menguat. Namun, setelah menyelesaikan dua periode masa jabatan pada tahun 2024, dukungan yang dulu kokoh mulai memudar. Isu-isu seperti ijazah palsu dan ketidakberesan ekonomi menjadi sorotan, dan bahkan partai pendukungnya, PDI Perjuangan, tampak jelas berbalik arah. Bahkan seakan menjadi musuh utama dengan Jokowi yang sebelumnya merupakan kader di partai tersebut.

Fenomena serupa juga dialami oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Selama sepuluh tahun menjabat sebagai Presiden keenam Indonesia, dukungan yang diterimanya mulai goyah menjelang akhir masa jabatannya. Kritik dan serangan semakin massif, meninggalkan jejak kesepian di puncak karier politiknya.

Fenomena ini dapat dianalogikan dengan mendaki gunung, sebuah perjalanan yang menuntut semangat dan ketabahan. Saat kita memulai pendakian, banyak orang yang berjalan bersama kita, memberikan dukungan dan semangat. Namun, semakin kita mendekati puncak, semakin sedikit orang yang tetap setia di sisi kita. Di puncak, panorama keindahan yang memukau sering kali diiringi oleh kesepian. Dan ketika tiba waktunya untuk turun, medan yang terjal dan fisik yang lelah menjadi tantangan baru yang harus dihadapi.

Turun dari puncak, seperti halnya turun dari kekuasaan, membutuhkan lebih dari sekadar semangat. Dibutuhkan keberanian dan kebijaksanaan untuk menghadapi jalan yang sulit, serta kesiapan untuk menerima kenyataan bahwa dukungan bisa datang dan pergi. Seperti pendaki yang harus bersiap menghadapi risiko tersesat atau kelelahan, para pemimpin juga harus siap menghadapi kritik dan kesepian setelah masa jabatan berakhir.

Mungkin, di puncak itu memang sepi. Namun, keheningan di puncak adalah momen reflektif, memberi kita ruang untuk merenung dan belajar dari perjalanan yang telah ditempuh. Ini adalah pengingat bahwa setiap puncak memiliki tantangannya sendiri, dan bahwa kesepian adalah bagian dari proses yang harus dihadapi dengan keberanian dan ketenangan. Dalam setiap puncak yang kita daki, baik dalam kehidupan maupun karier, kita membawa serta pelajaran berharga yang hanya bisa ditemukan di tempat yang tenang dan sepi itu.

Ya, di puncak (ambisi) itu sepi Pak…()

Semarang, 8 Mei 2025.

Pos terkait