Kehidupan diberikan kepada kita semiliar tahun lalu
Kebodohan selalu menimbulkan kekacauan, bukan pengetahuan.
Apakah kita tahu apa yang harus dilakukan? (lucy)
MEMBANGUN kebudayaan secara terus menerus dan semangat berkelanjutan adalah sebuah perjalanan panjang dan komplek bagi sebuah bangsa. Memerlukan banyak hal untuk mewujudkan cita mulia ini sebab kebudayaan bukanlah sekadar tugas, melainkan sebuah tanggung jawab bersama untuk melestarikan dan mengembangkan nilai luhur serta kekayaan intelektual pada bangsa ini.
Semarang adalah sebuah kota yang mempunyai kesejarahan yang unik dengan latar belakang kebudayaan beragam. Karena inilah Semarang memerlukan penanganan soal kebudayaan dengan serius dengan orang-orang yang rela memberikan waktunya secara berlebih untuk kemajuan kebudayaan di kota ini. Hal itu tentu saja dibutuhkan kolaborasi berkualitas antara pihak-pihak terkait dengan dukungan penuh pemerintah kota.
Upaya untuk memajukan kebudayaan di Semarang tentu selalu dipikirkan oleh pemerintah kota sejak lama, bahkan wali kota demi wali kota berganti hal tersebut menjadi salah satu program dan janji kampanye pada saat itu.
Namun pada tahapan implementasi, terasa benar bahwa kemajuan itu tidak cukup signifikan, barangkali persoalan kebudayaan bukanlah prioritas hingga terjalani hanya setengah hati sampai saat ini.
Beberapa tahun silam bersama budayawan Semarang (alm) Djawahir Muhammad, kita pernah menggagas terbentuknya akademi Semarang, sebuah Lembaga yang diharapkan menjadi embrio bagi terbentuknya sekolah atau universitas seni budaya di kota ini.
Memang sebuah mimpi besar dan seperti sebuah omong kosong yang sedang dibicarakan, namun saat itu pada masa walikota Sukawi Sutarip, beliau memberi lampu hijau untuk gagasan ini, dengan secara sederhana menyediakan ruang di balaikota untuk dijadikan tempat pertemuan rutin bagi seniman dan budayawan untuk berkumpul.
Mulai pembahasan kurikulum dengan nilai lokal, pembentukan pusat budaya, pengadaan kegiatan kebudayaan, kemitraan pemerintah dan masyarakat, pemanfaatan teknologi informasi, pembinaan organisasi mahasiswa, hingga pemberian penghargaan prestasi akademik dan budaya menjadi perbincangan menarik dan diskusi panjang yang melelahkan.
Agaknya memang dibutuhkan energi yang berlebih untuk terus menerus konsisten dan mewujudkan cita mulia ini bagi perkembangan kebudayaan di Kota Semarang. Tantangan pada saat itu menjadi sangat berat karena minat generasi muda belum menunjukan hasil yang baik, ditambah dengan keterbatasan sumber daya dan perubahan zaman yang begitu cepat, hingga gagasan ini pun berhenti hanya sebagai gagasan.
Ya, gagasan membentuk akademi Semarang berakhir, tapi semangat untuk tetap memajukan kebudayaan Kota Semarang tak pernah padam.
Sampai ketika pada Pilkada serentak 2024, pasangan Calon Wali Kota Semarang, Yoyok Sukawi dan wakilnya Joko Santoso (Yoyok-Joss) menyampaikan visi misi yang berkaitan dengan kebudayaan. Misi pada poin pertama adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang inklusif mandiri dan kompetitif dengan mengedepankan karakter dan budaya lokal, kemudian ketika di breakdown dalam program prioritas pembangunan Kota Semarang.
Tertemukanlah frasa “budaya” serasa menemu angin segar dalam cita mulia pasangan Yoyok-Joss ini. Yang menarik, prioritas itu secara kongkret mencoba mengoptimalkan perpustakaan tersedia di setiap rukun warga (RW), tak hanya itu prioritas membangun 1 galeri center kreatif per 1 kecamatan adalah bukti bagaimana Yoyok-Joss paham dengan kebutuhan masyarakat untuk membangun learning centre yang berkualitas di Kota Semarang.
Ingatan tentang gagasan terbentuknya akademi Semarang, sebuah lembaga yang diharapkan menjadi “thinkthank” bagi ekosistem kebudayaan di Semarang, dan sangat mungkin menjadi embrio terbentuknya sekolah seni budaya di kota ini serupa mendapat angin segar untuk terwujud kembali.
Barangkali biar tidak menjadi sekadar harapan, Yoyok-Joss sejalan dengan program hasta karya dan 7 program prioritas pembangunan yang diusungnya perlu membentuk sebuah lembaga kecil-kecilan yang didukung penuh untuk mewujudkan hal itu semua.
Lekas Indonesia (Lembaga Kebudayaan Semarang Indonesia) bisa menjadi langkah pertama untuk mewujudkan hasta karya dan 7 program prioritas pasangan Yoyok-Joss sebagai lembaga adaptasi Akademi Semarang yang pernah digagas para budayawan beberapa tahun lalu.
Sangat mungkin, lembaga kecil ini tidak melulu bicara kesenian dan kebudayaan secara sempit, bahkan mungkin bisa diperluas untuk membahas segala bidang yang berkait paut dengan persoalan dan tantangan masa depan Kota Semarang. Setidaknya Lekas Indonesia yang berisi cendekia, aktivis dan masyarakat umum bisa memberikan sumbangsih pemikiran dan saran bagi pemerintahan Kota Semarang ke depannya.(*)
Penulis: Agung “Matakita” Hima, pemilik warung angkringan di Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang.